JELAJAHSULUT.COM-Langkah kaki Astuti Maramis siang itu terasa begitu berat. Bersama sang suami, ia menapaki halaman gedung DPRD Sulawesi Utara di jalan raya Manado–Bitung dengan wajah sendu dan mata yang sudah lama basah oleh air mata. Setiap gerakan seakan menahan beban besar, bukan hanya karena usia, melainkan karena kegelisahan yang selama ini menghantui: nasib anaknya yang masih terjebak jauh di Myanmar.
Astuti bukan datang untuk urusan pribadi yang ringan. Ia membawa doa seorang ibu yang tak pernah padam, agar anaknya bisa kembali pulang dalam keadaan selamat. Tujuannya jelas, ia ingin bertemu Wakil Ketua DPRD Sulut, dr. Michaela Elsiana Paruntu.
Begitu memasuki ruangan, Michaela menyambut dengan senyum hangat dan mempersilakan mereka duduk.
“Anak saya sudah berbulan-bulan di Myanmar. Dia bersama 14 orang warga Indonesia lain. Dari jumlah itu, 12 orang adalah anak-anak Sulawesi Utara,” kata Astuti dengan suara serak.
Ia lalu menceritakan bagaimana anaknya terjerat sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Setiap hari, anaknya dipaksa bekerja dengan target mustahil. Jika gagal, hukuman sadis menanti.
“Mereka dicambuk. Mereka disuruh push up 200 kali dengan beban di punggung. Kalau tidak bisa, mereka disiksa lagi. Itu yang anak saya alami setiap hari,” ujarnya lirih, kali ini tak lagi mampu membendung air mata.
Michaela terlihat mendengarkan dengan mata yang berkaca-kaca.
“Saya akan berupaya semaksimal mungkin. Kita akan koordinasi dengan gubernur dan pemerintah pusat agar mereka segera dipulangkan. Cukup sampai 12 orang ini saja, jangan ada lagi warga Sulut yang menjadi korban,” tegas Michaela dengan nada penuh kepedulian.
Michaela juga menekankan pentingnya langkah pencegahan agar tragedi serupa tidak kembali terjadi.
“Kita perlu memperkuat edukasi masyarakat. Jangan mudah tergiur tawaran kerja di luar negeri yang tidak jelas. Pemerintah, gereja, tokoh masyarakat, semua harus terlibat mencegah warga kita masuk dalam jeratan sindikat perdagangan manusia,” ujarnya.
Ia menambahkan, DPRD Sulut siap membuka ruang komunikasi bagi keluarga korban TPPO lain yang mungkin belum berani bersuara. “Kita tidak boleh diam. Setiap korban adalah anak bangsa yang harus kita selamatkan,” pungkasnya.
Bagi Astuti, ucapan itu bagai cahaya di ujung lorong panjang yang gelap. Selama ini ia hanya bisa berdoa dari rumah, menunggu kabar anaknya yang setiap hari menjerit lewat pesan singkat penuh penderitaan. Kini, ada harapan yang kembali tumbuh.
Saat meninggalkan ruangan DPRD Sulut, langkah Astuti terlihat sudah sedikit ringan karena harapan di tengah ruangan yang gelap. Keyakinan kini bahwa perjuangan seorang ibu tak akan pernah sia-sia, dan bahwa anaknya suatu hari akan kembali pulang ke pelukan keluarga.


 
													 
														 
									 
									 
									 
									 
									