JELAJAHSULUT.COM— Sebuah pernyataan yang disampaikan Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Utara, dr. Fransiscus Andi Silangen, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IV DPRD Sulut pada Senin (23/6/2025), menuai polemik di tengah publik. Ucapan yang disampaikan dalam dialek lokal itu dinilai tidak hanya kontroversial, tetapi juga memperlihatkan urgensi refleksi etika berkomunikasi bagi pejabat publik.
Pernyataan Fransiscus yang menyebut “kalau dia bodok-bodok, mo sekolah di manapun bersekolah tetap bodok” menjadi sorotan lantaran dianggap mengandung unsur penghinaan terhadap peserta didik dan semangat perjuangan pendidikan, khususnya di tengah sistem pendidikan nasional yang masih menyimpan berbagai ketimpangan.
Menanggapi hal ini, sejumlah pihak, termasuk Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Manado, menyampaikan kritik tajam. Namun lebih dari sekadar kecaman, peristiwa ini menyulut diskusi lebih luas soal bagaimana seorang pemimpin menyampaikan pesan di ruang publik.
Bahasa Pemimpin, Cerminan Sikap Politik
Ketua GMNI Manado, Hizkia Rantung, menegaskan bahwa dalam demokrasi, bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan representasi nilai, sikap, dan keberpihakan. “Ketika seorang pejabat menggunakan bahasa yang memperolok atau merendahkan, maka itu mencederai kepercayaan publik. Terlebih jika itu menyangkut sektor pendidikan, yang menjadi ruang perjuangan banyak keluarga,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa di era digital, rekam jejak ucapan pejabat sangat mudah menyebar dan menjadi referensi publik, terutama generasi muda. “Kata-kata seorang pemimpin memiliki dampak psikologis dan kultural. Pernyataan ini bisa dimaknai sebagai legitimasi terhadap stigma dan diskriminasi dalam dunia pendidikan,” sambung Hizkia.
Pendidikan Bukan Sekadar Soal Kecerdasan
Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa pendidikan tidak seharusnya dinilai hanya dari aspek intelektual individu, tetapi juga dari sistem yang mendukung atau menghambat akses dan kualitas. Di tengah upaya pemerintah menata sistem zonasi dan pemerataan pendidikan, narasi seperti ini bisa menimbulkan luka sosial.
