JELAJAH SULUT.COM—Kisah Lole Pantou, warga Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, menjadi perhatian publik setelah yang bersangkutan harus berhadapan dengan proses hukum terkait aktivitas pertambangan emas di atas lahan yang ia klaim sebagai milik keluarga secara turun-temurun.
Lole diketahui tengah menjalani proses penahanan dan dititipkan di Polda Sulawesi Utara atas dugaan keterlibatan dalam aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI). Menurut pihak keluarga, Lole melakukan kegiatan penambangan di atas lahan warisan, yang disebut belum pernah dibebaskan oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebelumnya.
Di tengah proses hukum tersebut, muncul pihak-pihak lain yang juga melakukan aktivitas di lahan dimaksud, sehingga memunculkan ketegangan di lapangan. Salah satu nama yang disebut oleh warga sekitar adalah seseorang bernama Chandra. Namun, hingga kini belum ada konfirmasi resmi terkait status dan latar belakang yang bersangkutan.
Nama Chandra mulai dikaitkan dengan tindakan biadab menerjang lahan Lole Pantow menggunakan alat berat jenis excavator. Pria yang tidak jelas asal-usulnya itu mengaku ke sejumlah orang di Pasolo kuat dugaan suruhan Mabes Polri untuk memimpin sekelompok orang di lokasi tambang. Mereka diduga berkolusi dengan tim di Mabes Polri untuk mengolah lokasi tersebut tanpa sepengetahuan Kapolri Jenderal Sigit Prabowo. Buntutnya kelompok liar ini dihadang keluarga Ahli Waris Lole Pantow, Kamis siang.
Lalu apakah Mabes Polri sungguh – sungguh menegakan aturan?
Setelah ditelusuri oknum polisi didikan Kapolri Jenderal Sigit Prabowo ini diduga mendorong Chandra yang menurut pengakuan sejumlah orang di lokasi, wartawan bodrex yang kurang kerjaan, untuk memproduksi emas dan diduga gilirannya menyetor koordinasi ratusan juta ke Mabes.
Aktivitas wartawan tidak jelas ini sempat tertangkap basah keluarga Lole Pantow beberapa kali. Buntutnya pada Kamis siang, Chandra dihadang keluarga Ahli Waris Lole Pantow. Keributan sempat terjadi di lokasi tambang tersebut.
Chandra yang diduga kuat menggaet investor pendana untuk menyetorkan koordinasi ratusan juta kepada oknum oknum di Mabes.
Kelompok ini disinyalir memanfaatkan status hukum Lole Pantow yang saat ini sedang ditahan. Sumber di lokasi yang mendapati aksi bar-bar Chandra dan kelompoknya berhasil menutup dua bak rendaman yang sebelumnya dibuat Lole Pantow sudah ditutup Chandra menggunakan alat berat.
“Lole Pantow menambang di atas tanah sendiri. Untuk memberi makan istri dan anak, membiayai pendidikan anak-anak, Tapi ditangkap dengan alasan ilegal mining. Tapi anehnya setelah Lole Pantow ditahan, muncul Chandra yang tidak jelas lahir besar dimana, asal usul dari mana bawa alat berat keruk material di lokasi yang sama. Timbul pertanyaan ada apa dengan Mabes Polri? Uang koordinasi atau apa?,” protes kerabat Lole Pantow yang geram dengan tindakan kepolisian dan Chandra di Pasolo.
Lole Pantow sebenarnya pernah berhadapan dengan laporan PT Minselano ke Polda Sulut dengan dalil penyerobotan dan PETI memunculkan dugaan upaya penjarahan lahan. Minselano disinyalir mulai menggunakan tangan aparat agar lahan seluas 41.000 M2 atau 4,1 hektare itu diserahkan ke pihaknya.
Sinyalemen upaya perampasan itu mulai dirasa Lole Pantou ketika memenuhi panggilan Polda Sulut, Kamis (27/2/2025) silam.
Pertanyaan penyidik mengenai pembebasan lahan PT Newmont Minahasa Raya di masa silam membuat Lole Pantou merasa disetir untuk menyerahkan tanahnya ke Minselano tanpa harus ganti rugi.
Isu Pembebasan Lahan
Argumen hukum bahwa PT Minselano memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) menurut Lole Pantou tidak salah. Hanya saja baik PT Minselano maupun PT Newmont Minahasa Raya dahulu tidak pernah melakukan pembebasan lahan sebagaimana perintah Peraturan Menteri Kehutanan.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU 4/2009”) yang kemudian dielaborasi dalam Peraturan Menteri Kehutanan, pemegang IUP harus membebaskan terdahulu lahan warga sebelum melakukan ekploitasi atau produksi.
Sayangnya Minselano tidak mau merugi dan hanya ingin merampas tanah rakyat yang mengandung material emas. Padahal sanksi bagi pemegang IUP yang mengangkangi Permen adalah mencabut IUP itu sendiri. Yang terjadi di Ratatotok, Minselano keras kepala dan mulai memakai tangan aparat kepolisian.
Kemudian, menurut mantan Tim Pembebasan PT Newmont Minahasa Raya Frangky Lendo, pada masanya Newmont tidak pernah melakukan pembebasan lahan. Yang dilakukan Newmont adalah ganti rugi eksplorasi ke Lole Pantou.
“Yang benar cuma bayar ganti rugi eksplorasi pak (wartawan,red). Bukan pembebasan lahan. Ganti rugi eksplorasi karena ada tanaman yang rusak. Itu beda dengan pembebasan lahan. Saya saksi bahkan tim pembebasan PT Newmont Minahasa Raya,” ujar Frangky Lendo.
IUP
Masih menurut Frangky Lendo, PT Minselano itu barang mati. Disebut barang mati karena memang PT Minselano tidak punya hak apa -apa di atas tanah warga. IUP yang diakui PT Minselano ternyata sudah mati sejak 2021 silam. Dan sampai sekarang Minselano belum mengantongi perpanjangan IUP. Lantas, pantaskah Minselano meminta bantuan polisi untuk menindak Lole Pantou atas nama pemegang IUP?
“Itu keliru. Minselano itu barang mati. Di hukum, Minselano tidak ada hubungan dengan Lole Pantou. Memang mereka siapa?,” sindir Frangky Lendo.
Alas Hak dan Legalitas Kepemilikan
Mengenai legalitas kepemilikan, tidak ada pihak lain yang memiliki alas hak di atas tanah tersebut. Tanah itu sejak awal adalah milik Nusa Pantou dengan bukti Surat Ukur Desa Register 386 tahun 1986.
Adapun batas – batasnya yakni;
Utara. : S lantong
Timur. : A Mamanua/ A Pantou
Selatan: Saluran Air/Parit
Barat. : A Kumolontang
Sedangkan IUP yang dikantongi PT Minselano bukan bukti kepemilikan atas tanah tapi dokumen basi karena sudah tutup usia di tahun 2021 silam. IUP itu merupakan dokumen negara yang menunjuk wilayah yang diperbolehkan untuk dieksploitasi dengan syarat pembebasan lahan warga.
Dalam surat itu terdapat tapal batas yang jelas. Kemudian, Lole Pantou yang menerima warisan Nusa Pantou mengelola kebun cengkehnya dengan sangat terawat hingga saat ini. Surat asli masih di tangan Lole Pantou dan tidak di mana-mana.
“Pikiran saya orang awam, kalau ada pelepasan hak zaman dulu surat ini ada di pihak yang membeli. Ini surat dari orang kami, kasih ke kami sebagai ahli waris. Orang tua kami tidak menjual ke siapa – siapa. Kalau ada yang mengaku pembeli, tunjukan mana bukti jual beli. Awas kalau bikin surat palsu,” tegas Lole Pantou, Kamis malam.
Lole Pantou yang saat ini didampingi pengacara menegaskan, dia dan keluarganya hanya mencari makan dengan mengolah lahannya. Karena itu isu PETI yang dibawa Minselano ke Polda Sulut, menurut Lole Pantou itu cuma isi yang dipakai untuk membuka babak baru perampasan hak melalui meja penyidik.
“Satu dunia Minahasa Tenggara khususnya Ratatotok itu ilegal semua. Kenapa cuma keluarga saya yang jadi target? Lalu kenapa dihubungkan dengan urusan IUP yang pembebasan lahannya tidak pernah. Apakah tanah rakyat diambil begitu saja tanpa pembebasan? Kalau Minselano mau bebaskan lahan, apakah harga normal? Karena ini tanah ada kandungan emas,” ujar Lole Pantou.
Menurut sejumlah warga, keberadaan alat berat di lokasi tersebut memicu reaksi dari keluarga Lole Pantou yang mempertanyakan dasar hukum dan tujuan kegiatan tersebut. Situasi sempat memanas pada Kamis siang, ketika keluarga ahli waris berupaya mempertahankan lahan yang mereka klaim sebagai milik sah.
Keluarga Lole berharap kejelasan hukum atas kepemilikan lahan tersebut bisa menjadi dasar yang adil untuk penyelesaian sengketa. Mereka menyampaikan bahwa aktivitas Lole semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan bukan bermaksud melanggar hukum.
Pihak keluarga juga menyatakan bahwa klaim atas kepemilikan lahan diperkuat oleh dokumen lama berupa Surat Ukur Desa Register 386 tahun 1986. Di sisi lain, mereka mempertanyakan status hukum dari IUP yang disebut dimiliki oleh PT Minselano, yang menurut informasi dari berbagai sumber telah berakhir pada tahun 2021 dan belum diperpanjang.
Mantan Tim Pembebasan PT Newmont Minahasa Raya, Frangky Lendo, menyebut bahwa pada masa lalu, tidak ada proses pembebasan lahan terhadap tanah yang kini dikelola Lole Pantou, melainkan hanya ganti rugi eksplorasi. Hal ini memperkuat keyakinan keluarga bahwa lahan tersebut tetap menjadi hak mereka.
Dalam konteks hukum, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa setiap pemegang IUP wajib membebaskan lahan warga sebelum melakukan kegiatan produksi. Oleh karena itu, Lole dan keluarga menyampaikan harapan agar proses hukum mempertimbangkan aspek keadilan dan perlindungan terhadap hak warga.
Mereka juga berharap kepada Gubernur Sulawesi Utara, Yulius Selvanus Komaling, agar dapat memberikan atensi terhadap permasalahan ini dan menjamin agar penegakan hukum dilakukan secara adil, transparan, dan tidak memihak.
“Saya yakin bahwa Bapak Gubernur dan Bapak Presiden akan selalu berada di pihak rakyat kecil. Kami hanya ingin mengelola lahan warisan kami dan mencari nafkah dengan cara yang jujur,” tutur Lole Pantou melalui kuasa hukumnya, Kamis (19/6/2025).
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak-pihak terkait termasuk PT Minselano maupun aparat penegak hukum mengenai perkembangan terakhir kasus ini.
