MANADO, JELAJAHSULUT.COM – Derita masyarakat akibat mahalnya harga beras di Sulawesi Utara kini menjadi perhatian serius Komisi II DPRD Provinsi Sulut. Dalam rapat dengar pendapat yang digelar Senin (14/7/2025), berbagai suara dari akar rumput dibawa langsung oleh Wakil Ketua DPRD Sulut, Michaela Elsiana Paruntu, ke ruang sidang.
Politisi perempuan dari Partai Golkar ini mengungkapkan kondisi mengejutkan saat dirinya turun langsung ke sejumlah daerah. Bahkan di wilayah Bolaang Mongondow—yang dikenal sebagai lumbung beras Sulut—warga sudah mengeluhkan harga beras yang melambung tinggi.
“Kalau di Bolaang Mongondow saja sudah teriak, bagaimana dengan kami yang di Manado?” ujar Michaela dengan nada prihatin di hadapan mitra kerja Komisi II.
Tak hanya di Bolmong, keluhan serupa juga ditemuinya saat berada di Minahasa Selatan untuk mengikuti momen Pengucapan Syukur. Di sana, ia mendengar langsung bagaimana warga kecil kesulitan membeli beras.
“Saya tanya ke masyarakat kecil, bagaimana soal beras? Mereka bilang, sekarang satu karung bisa sampai satu juta rupiah. Saya bilang, itu sudah luar biasa mahal. Mereka jawab, terpaksa harus patungan satu keluarga dengan yang lain,” tutur Michaela, menirukan percakapan emosional bersama warga.
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam rantai distribusi pangan. Daerah-daerah yang dekat dengan sentra produksi beras seperti Minahasa Selatan dan Minahasa Tenggara pun ikut menjerit. “Seharusnya harga di sana masih terkendali. Tapi kalau mereka saja teriak, ini jadi tanda tanya besar,” tegasnya.
Dalam rapat tersebut, Michaela menekankan pentingnya mencari tahu secara mendalam di mana letak penyumbatan aliran beras. Apakah disebabkan alih fungsi lahan, kurangnya edukasi, atau tidak tersampaikannya informasi dan bantuan ke petani.
“Kalau kita bicara harga naik, itu berarti pasokan berkurang. Kalau beras banyak, harga akan otomatis turun. Logikanya sederhana, tapi implementasinya yang tidak jalan,” bebernya.
Michaela menegaskan bahwa masalah pangan bukan sekadar urusan logistik, tapi menyentuh kehidupan dasar masyarakat. “Bagaimana masyarakat bisa berpikir jernih, bekerja dengan baik, atau anak-anak sekolah dengan fokus kalau perut mereka lapar?” ujarnya.
Ia menambahkan, dalam budaya masyarakat Sulut dikenal istilah ‘urus kampung tengah dulu baru urus yang lain-lain’, yang menggambarkan betapa kebutuhan dasar seperti makanan harus jadi prioritas.
“Sebagai wakil rakyat, saya tidak bisa diam. Saya berdiri di sini membawa suara mereka yang sudah terlalu lama berteriak dalam sunyi. Pemerintah dan semua pemangku kebijakan harus buka mata dan turun tangan,” pungkasnya.
