“Pemerintah menetapkan bahwa PLN harus membayar semua listrik yang dihasilkan oleh pihak ketiga. Oleh karena itu, saat ini PLN harus cermat dalam menghitung dan mengalokasikan pasokan listrik agar tidak memberikan dampak yang jauh lebih buruk bagi keuangan,” terang Darmawan.

Sementara itu, Founding Director of The University of Oxford’s program on Sustainable Capital-Intensive Industries, Atif Ansar pada kesempatan yang sama di acara tersebut, mengingatkan tiga faktor yang berpotensi memicu kegagalan megaproyek.

Faktor pertama adalah pelaku proyek terlampau optimistis dan tidak melihat adanya kerikil yang menghambat keberlangsungan proyek tersebut.

Faktor kedua, dalam membuat rancangan induk megaproyek, inisiator akan mengerek nilainya supaya dapat lebih mudah mendapatkan fasilitas keuangan.

Dalam hal ini, tidak sedikit inisiator megaproyek terlalu besar menggelembungkan nilainya tanpa melihat faktor risiko yang menyertainya.

“Faktor terakhir adalah kompleksitas. Tidak sedikit inisiator proyek membuat perbandingan secara linear, padahal dalam prakteknya dalam membangun sebuah megaproyek banyak faktor yang harus dihitung secara pararel,” jelas Atif.

Darmawan menyatakan sependapat dengan Atif. Oleh karenanya, untuk pembangunan pembangkit EBT ke depan, PLN akan melakukannya dengan cermat. Apabila di suatu daerah, suplai listriknya sudah melebihi kapasitas, maka pembangkit EBT sebaiknya tidak dibangun.

“Pertama, keselarasan pasokan dan kebutuhan. Kedua, aspek lingkungan dan berikutnya sudah barang tentu keterjangkauan karena kita ingin semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkannya” pungkasnya.